Meletusnya Gerakan 30 September tahun 1965 berdampak besar pada orang-orang yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang dianggap simpatisan PKI ditangkap dan dieksekusi tanpa diberi hak membela diri di pengadilan. Pengalaman pahit itu, salah satunya dialami oleh Magdelana Kastinah.
Kastinah lahir 14 April 1948 di Purwokerto. Sebelum tragedi 1965, Kastinah menyambung hidup dengan berjualan rujak sembari merawat ibunya. Kemudian, Kastinah mendapat tawaran dari bibinya untuk ikut bekerja di Jakarta. Dia pun akhirnya memilih hijrah ke ibu kota.
"Saya sebelum 65 saya di Purwokerto jualan rujak. Sesudah itu saya ikut Bulik kerja di Jakarta," ujar Kastinah kepada updatenews24jam.blogspot.com, Minggu (2/4/2020).b
Sesampainya di Jakarta, Kastinah bekerja sebagai buruh di sebuah Pabrik Kaos di daerah Duren Tiga Pasar Minggu. Tak hanya bekerja, Kastinah juga memilih membentuk serikat pekerja usai diajak bergabung dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau yang lebih dikenal dengan SOBSI. Untuk diketahui, SOBSI merupakan salah satu onderbow PKI.
"Saya beberapa bulan bekerja di pabrik di Duren Tiga. Saya di situ saya disuruh membikin organisasi sama SOBSI. Saya sudah berhasil," ungkapnya.
Namun, kondisi politik pada tahun 1965 sungguh tak bisa diterka. PKI dituding sebagai dalam kudeta usai Resimen Cakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri menewaskan enam jenderal, tiga perwira, satu polisi, dan satu putri jenderal. Semua anggota organisasi yang erat kaitannya PKI ditangkap. Tak terkecuali Kastinah.
Pada waktu itu, Kastinah bercerita bahwa ia hendak menjenguk neneknya yang sedang sakit. Tetapi setelah pulang, Kastinah justru ditangkap polisi. Dia kemudian ditahan di Kamp Penahanan Plantungan, Kendal karena dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Gerwani adalah onderbow PKI yang dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dikaitkan dengan tarian Harum Bunga. Kastinah tidak terima, karena ia tidak pernah bergabung dengan Gerwani.
"Terus waktu tahun 65, terus ada peristiwa, saya pulang ke Purwokerto, Mbah saya sakit. Tapi pas saya pulang Purwokerto, saya ditangkap oleh polisi. Dibawa ke Semarang. Habis ke Jakarta ke Plantungan. Saya ditangkap polisi itu waktu 16 tahun. Dan saya dituduh sebagai Gerwani. Padahal saya bukan Gerwani," tuturnya.
Di Kamp Plantungan, Kastinah mendapatkan tempat tidur bersama lima orang lainnya. Dia menjalani kerja paksa di Kamp itu. Kastinah mendapat bagian untuk memasak, mencuci pakaian dan bekerja di bagian di penjahitan.
Jika malam tiba, Kastinah takut ketika ada komandan yang mengetuk pintunya. Ketakutan terus menghantuinya selama di kamp. Kastinah menjalani masa penahanan di Kamp tersebut selama 14 tahun. Dia mengaku, masa mudanya habis di tempat tahanan itu.
"Selama di penjara seluruhnya itu 14 tahun, hidup saya di sana. Dan saya bebasnya tahun 79. Dan masa muda saya habis di dalam tahanan," kenang Kastinah.
Masa penahanan selama 14 tahun itu meninggalkan trauma yang mendalam pada diri Kastinah. Bahkan, dia sampai takut untuk menikah. Padahal, waktu itu sempat ada seorang polisi yang ingin menikahinya, tetapi Kastinah menolaknya karena takut jika masa lalunya diungkit lagi.
Kastinah akhirnya berjodoh dengan Sunardi yang juga mantan tahanan politik (tapol) Pulau Buru. Mereka menikah pada tahun 1980 di Purwokerto. Setelah menikah, Kastinah pernah bekerja di toko mas dan pabrik roti.
Dia kemudian ikut menemani suaminya yang bekerja sebagai guru akuntansi di Solo. Di tempat itulah, Kastinah mendapat pengakuan dari Komnas HAM sebagai korban HAM berat 1965.
"Begitu di Solo, saya ikut organisasi Sekretariat Bersama (Sekber) 65. Terus saya diperjuangkan oleh Sekber supaya mendapat surat rekomendasi dari Komnas HAM. Surat itu penting bagi saya, karena saya diakui negara sebagai korban HAM berat 1965," kata Kastinah.
Tonton juga 'Gaduh PKI di Ujung September':
Kemudian pada tahun 2012, suami Kastinah wafat. Dia akhirnya hidup sendirian karena selama menikah mereka belum dikaruniai anak. Namun, ia tetap bersyukur.
Dia kini hidup sebagai sebatang kara sembari berjualan es batu. "Sehari-sehari saya hidup sendiri, tidak ada suami, tidak ada sanak saudara yang memberi bantuan kepada saya. Saya bikin es batu, tadinya bikin peyek," ungkapnya.
Magdalena Kastinah, Korban 65 yang dituduh Gerwani (Dok. Sekber65) |
Meskipun begitu, hidupnya terbantu karena buku hijau yang diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Melalui buku itu, Kastinah memperoleh layanan kesehatan untuk rutin memeriksakan kondisi kesehatannya. Dia bersyukur, karena layanan kesehatan seperti ini tak pernah dia dapatkan sebelumnya.
Di tempat tinggalnya kini, di Kampung Jagalan, Solo, Kastinah merasa dihargai oleh tetangganya. Dia juga rutin mengikuti kegiatan arisan di kampunganya.
Di usianya yang sudah 72 tahun ini, Kastinah hanya berharap tetap sehat. Dia juga tak ingin sejarahnya dilupakan.
"Harapan saya, tetap sehat. Sejarah jangan sampai dilupakan. Saya tidak bersalah kok dituduh Gerwani. Saya berharap kepada negara segera menyelesaikan tragedi 65 secara rekonsiliasi," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar